Pages

Rabu, 14 Januari 2015

ANALISIS SERTA STRATEGI PENANGGULANGAN KEGIATAN IUU FISHING DI PERAIRAN INDONESIA

Oleh : Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi *)

Kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan jalur lalu lintas pelayaran internasional baik perdagangan maupun transportasi merupakan daerah yang sangat strategis. Sumber daya hayati laut yang terkandung di dalamnya sangat potensial, baik untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia seluas 5,866 juta km2 (Gany, 2000)[1], sangat memungkinkan bila sektor ini diharapkan menjadi tulang punggung pembangunan Indonesia di masa depan.



Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menjaga kekayaan sumberdaya hayati laut saat ini terus digalakan. Berbagai kebijakan telah dibuat seperti lahirnya PermenKP No. 56/Permen-KP/2014 tentang penghentian sementara atau moratorium perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia, merupakan sandungan bagi pengusaha perikanan yang telah melakukan pelanggaran, Kebijakan pemberantasan IUU Fishing, Sustainable Fishery System yang merupakan konsep baru sebagai pengganti konsep lama yaitu hasil yang berkelanjutan (Sustainable Yield). Fokus dari Sustainable Fishery System adalah sistem perikanan yang memperhatikan ekosistem dan masyarakat, sedangkan sustainable yield berfokus pada ouput fisik yaitu hasil perolehan ikan yang berkelanjutan. Perubahan pola pikir ini terjadi karena perhitungan fisik dari stok ikan saja dianggap tidak menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan kerena perikanan berkelanjutan banyak tergantung pada perilaku dan pengambilan keputusan dari pemangku kepentingan di bidang perikanan.

Sebagai negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas, Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan yang sangat besar. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18 Tahun 2011 Tentang Pedoman Umum Minapolitan[2] menunjukkan besarnya potensi sumber daya ikan pada Tahun 2011 yaitu sebesar 6,4 juta ton/tahun juga disertai oleh tingkat pemanfaatan yang secara rata-rata sudah cukup tinggi yaitu sekitar 4,7 juta ton/tahun atau 73,43%. Pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah perairan Indonesia lebih terkonsentrasi di wilayah perairan yang berbatasan dengan daerah-daerah yang padat penduduknya, seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Selat Bali dan Selat Makasar. Sedangkan daerah perairan lepas pantai dan hampir seluruh perairan ZEEI kecuali Laut Arafura, secara umum dapat dikatakan belum dimanfaatkan secara optimal.

Seiring berjalannya waktu, maka tentunya terjadi banyak perubahan dalam kondisi sumber daya perikanan dan kelautan tersebut, terutama terkait dengan maraknya praktek penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab yang dalam dunia internasional mendapat sebutan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU-Fishing). Lemahnya upaya penegakkan hukum di Indonesia mengakibatkan kasus-kasus pencurian ikan oleh nelayan-nelayan tidak kunjung usai. Peraturan-peraturan yang dibuat dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia, kerap tidak diimbangi dengan penerapan sanksi dan penegakkan hukum yang jelas hingga akhirnya kasus-kasus pencurian dan terlepasnya kembali pelaku-pelaku pencurian sering terjadi.

Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan dan aksi untuk membahas masalah ini, yakni dengan mengkaji sebab-akibat adanya kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia; Mengidentifikasi dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penanggulangan IUU-Fishing di perairan Indonesia; Menelaah dan menganalisis upaya penanggulangan kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia; dan Merekomendasikan strategi yang tepat untuk penanggulangan IUU-Fishing di perairan Indonesia.

Saat ini yang mengakibatkan maraknya aktivitas IUU-Fishing di Indonesia adalah : (1) rentang kendali dan luasnya daerah pengawasan tidak sebanding dengan kemampuan pengawasan yang ada saat ini; (2) terbatasnya kemampuan sarana dan armada pengawasan di laut; (3) lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi atau broker; (4) masih lemahnya penegakkan hukum; dan (5) lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum. Berbagai kegiatan yang termasuk dalam kategori IUU-Fishing secara langsung merupakan ancaman bagi upaya pengelolaan sumber daya ikan yang tidak bertanggung jawab dan menghambat kemajuan pencapaian perikanan tangkap yang berkelanjutan (FAO, 2002)[4]. Pelaku IUU-Fishing, tidak hanya nelayan asing semata, tetapi juga dilakukan oleh nelayan-nelayan Indonesia sendiri. Diperkirakan setiap tahunnya Indonesia mengalami kerugian sebesar 2 miliar dollar atau setara dengan 20 trilyun akibat praktek kegiatan IUU-Fishing yang terjadi (Nikijuluw, 2005)[5].

Dalam upaya merumuskan alternatif-alternatif strategi untuk menanggulangi kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia. Maka terlebih dahulu dilakukan identifikasi berbagai kekuatan dan kelemahan (faktor internal) yang terdapat dalam sistem permasalahan; dan identifikasi faktor peluang dan ancaman (faktor eksternal) dalam sistem yang akan dicari penyelesaiaannya. Dalam hal ini strategi kebijakan dalam pengangulangan kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia dilakukan dengan analisis SWOT. Berdasarkan matrik SWOT yang telah diformulasikan, diketahui terdapat 9 (sembilan) strategi kebijakan yang dapat dilakukan untunk menanggulangi kegiatan IUU-Fishing di Indonesia. Berdasarkan faktor kepentingan dan prioritas, maka 9 (sembilan) strategi kebijakan tersebut dapat diuraikan menurut urutan prioritasnya, yakni sebagai berikut: (1) Penguatan armada penangkapan lokal di wilayah perairan Indonesia; (2) Peningkatan kegiatan pengawasan; (3) Memaksimalkan peran TNI AL, SATPOLAIR, dan lembaga-lembaga terkait dengan kegiatan pengawasan sumber daya perikanan; (4) Memperbaiki kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan sumberdaya perikanan; (5) Meningkatkan upaya pengimplementasian undang-undang tentang pengelolaan sumber daya perikanan secara menyeluruh dan kontinu; (6) Pemberian sanksi yang tegas guna memberikan efek jera kepada oknum pelanggaran bidang perikanan ; (7) Memperbaiki koordinasi dan hubungan antara instansi terkait dalam pengelolaan SDI di perairan Indonesia; (8) Pembangunan prasarana pelabuhan yang memadai di setiap pantai peraiaran Indonesia yang ramai aktivitas ekonominya; dan (9) Meningkatkan kerja sama regional dan internasional.

Oleh karena itu disarankan agar segera mengkaji kemungkinan untuk melaksanakan program-program rekomendasi FAO yang belum dilakukan di Indonesia; menetapkan proses adopsi suatu rencana aksi nasional dalam mekanisme penyusunan rencana kerja rutin melalui koordinasi antar stakeholder terkait.; dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai upaya pemantauan dan pengawasan terhadap wilayah perairan, khususnya ZEEI yang berbatasan langsung dengan negara lain.


*) Penyuluh Perikanan Pertama di Balai Diklat Perikanan Banyuwangi




Sumber Tulisan :
Cupi Valhalla
http://politik.kompasiana.com

Sumber Foto :
http://jurnalmaritim.com/

Sumber :
[1] Gany, R. A. 2000. Pengembangan Sumber daya Manusia dalam Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan. Makalah Ilmiah. Prosidiing Konferensi Nasional II Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan Indonesia. Makasar.
[2] Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan.Jakarta.
[3] FAO Fisheries Department. 2002. Implementation of The International Plane of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing.FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 9. Rome, 122p.
[4] Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan : Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. Fery Agung Corporation (Feraco), Jakarta
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About