Oleh : Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi *)
Kita
mengetahui bahwa Indonesia merupakan
negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak
Indonesia yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan
jalur lalu lintas pelayaran internasional baik perdagangan maupun transportasi
merupakan daerah yang sangat strategis. Sumber daya hayati laut yang terkandung
di dalamnya sangat potensial, baik untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan
dan kebutuhan lainnya. Dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut
termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia seluas 5,866 juta km2 (Gany, 2000)[1], sangat memungkinkan bila sektor ini
diharapkan menjadi tulang punggung pembangunan Indonesia di masa depan.
Kebijakan
Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menjaga kekayaan sumberdaya hayati
laut saat ini terus digalakan. Berbagai kebijakan telah dibuat seperti lahirnya
PermenKP No. 56/Permen-KP/2014 tentang penghentian sementara atau moratorium
perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia,
merupakan sandungan bagi pengusaha perikanan yang telah melakukan pelanggaran,
Kebijakan pemberantasan IUU Fishing, Sustainable Fishery System yang merupakan
konsep baru sebagai pengganti konsep lama yaitu hasil yang berkelanjutan (Sustainable
Yield). Fokus dari Sustainable Fishery System adalah sistem perikanan yang
memperhatikan ekosistem dan masyarakat, sedangkan sustainable yield berfokus
pada ouput fisik yaitu hasil perolehan ikan yang berkelanjutan. Perubahan pola
pikir ini terjadi karena perhitungan fisik dari stok ikan saja dianggap tidak
menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan kerena perikanan berkelanjutan
banyak tergantung pada perilaku dan pengambilan keputusan dari pemangku
kepentingan di bidang perikanan.
Sebagai negara yang memiliki wilayah laut
yang sangat luas, Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan yang sangat
besar. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18 Tahun 2011 Tentang Pedoman Umum Minapolitan[2] menunjukkan besarnya potensi sumber daya ikan pada Tahun 2011 yaitu sebesar 6,4 juta ton/tahun juga
disertai oleh tingkat pemanfaatan yang secara rata-rata sudah cukup tinggi yaitu sekitar 4,7 juta ton/tahun atau 73,43%. Pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah perairan Indonesia lebih
terkonsentrasi di wilayah perairan yang berbatasan dengan daerah-daerah yang
padat penduduknya, seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Selat Bali dan Selat
Makasar. Sedangkan daerah perairan lepas pantai dan hampir seluruh perairan
ZEEI kecuali Laut Arafura, secara umum dapat dikatakan belum dimanfaatkan
secara optimal.
Seiring berjalannya waktu, maka tentunya
terjadi banyak perubahan dalam kondisi sumber daya perikanan dan kelautan
tersebut, terutama terkait dengan maraknya praktek penangkapan ikan yang tidak
bertanggung jawab yang dalam dunia internasional mendapat sebutan Illegal,
Unreported, and Unregulated Fishing (IUU-Fishing). Lemahnya
upaya penegakkan hukum di Indonesia mengakibatkan kasus-kasus pencurian ikan
oleh nelayan-nelayan tidak kunjung usai. Peraturan-peraturan yang dibuat dalam
rangka pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia, kerap tidak diimbangi
dengan penerapan sanksi dan penegakkan hukum yang jelas hingga akhirnya
kasus-kasus pencurian dan terlepasnya kembali pelaku-pelaku pencurian sering
terjadi.
Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan dan
aksi untuk membahas masalah ini, yakni dengan mengkaji sebab-akibat adanya
kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia; Mengidentifikasi dan
mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penanggulangan IUU-Fishing di
perairan Indonesia; Menelaah dan menganalisis upaya penanggulangan kegiatan
IUU-Fishing di perairan Indonesia; dan Merekomendasikan strategi
yang tepat untuk penanggulangan IUU-Fishing di perairan Indonesia.
Saat
ini yang mengakibatkan
maraknya aktivitas IUU-Fishing di Indonesia adalah : (1) rentang
kendali dan luasnya daerah pengawasan tidak sebanding dengan kemampuan
pengawasan yang ada saat ini; (2) terbatasnya kemampuan sarana dan armada
pengawasan di laut; (3) lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan
pengusaha bermental pemburu rente ekonomi atau broker; (4) masih lemahnya
penegakkan hukum; dan (5) lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak
hukum. Berbagai kegiatan yang termasuk dalam kategori IUU-Fishing secara
langsung merupakan ancaman bagi upaya pengelolaan sumber daya ikan yang tidak
bertanggung jawab dan menghambat kemajuan pencapaian perikanan tangkap yang
berkelanjutan (FAO, 2002)[4]. Pelaku IUU-Fishing, tidak hanya nelayan
asing semata, tetapi juga dilakukan oleh nelayan-nelayan Indonesia sendiri.
Diperkirakan setiap tahunnya Indonesia mengalami kerugian sebesar 2 miliar
dollar atau setara dengan 20 trilyun akibat praktek kegiatan IUU-Fishing yang
terjadi (Nikijuluw, 2005)[5].
Dalam upaya merumuskan alternatif-alternatif
strategi untuk menanggulangi kegiatan IUU-Fishing di perairan
Indonesia. Maka terlebih dahulu dilakukan identifikasi berbagai kekuatan dan
kelemahan (faktor internal) yang terdapat dalam sistem permasalahan; dan
identifikasi faktor peluang dan ancaman (faktor eksternal) dalam sistem yang
akan dicari penyelesaiaannya. Dalam hal ini strategi kebijakan dalam
pengangulangan kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia dilakukan
dengan analisis SWOT. Berdasarkan matrik SWOT yang telah diformulasikan,
diketahui terdapat 9 (sembilan) strategi kebijakan yang dapat dilakukan untunk
menanggulangi kegiatan IUU-Fishing di Indonesia. Berdasarkan faktor
kepentingan dan prioritas, maka 9 (sembilan) strategi kebijakan tersebut dapat
diuraikan menurut urutan prioritasnya, yakni sebagai berikut: (1) Penguatan
armada penangkapan lokal di wilayah perairan Indonesia; (2) Peningkatan
kegiatan pengawasan; (3) Memaksimalkan peran TNI AL, SATPOLAIR, dan lembaga-lembaga
terkait dengan kegiatan pengawasan sumber daya perikanan; (4) Memperbaiki
kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan sumberdaya perikanan; (5)
Meningkatkan upaya pengimplementasian undang-undang tentang pengelolaan sumber
daya perikanan secara menyeluruh dan kontinu; (6) Pemberian sanksi yang tegas
guna memberikan efek jera kepada oknum pelanggaran bidang perikanan ; (7)
Memperbaiki koordinasi dan hubungan antara instansi terkait dalam pengelolaan
SDI di perairan Indonesia; (8) Pembangunan prasarana pelabuhan yang memadai di
setiap pantai peraiaran Indonesia yang ramai aktivitas ekonominya; dan (9)
Meningkatkan kerja sama regional dan internasional.
Oleh karena itu disarankan agar segera
mengkaji kemungkinan untuk melaksanakan program-program rekomendasi FAO yang
belum dilakukan di Indonesia; menetapkan proses adopsi suatu rencana aksi
nasional dalam mekanisme penyusunan rencana kerja rutin melalui
koordinasi antar stakeholder terkait.; dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai upaya pemantauan dan pengawasan terhadap wilayah perairan, khususnya
ZEEI yang berbatasan langsung dengan negara lain.
*) Penyuluh Perikanan Pertama di Balai Diklat Perikanan Banyuwangi
Sumber Tulisan :
Cupi Valhalla
Cupi Valhalla
http://politik.kompasiana.com
Sumber Foto :
http://jurnalmaritim.com/
Sumber :
[1] Gany, R. A. 2000. Pengembangan Sumber
daya Manusia dalam Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan. Makalah Ilmiah.
Prosidiing Konferensi Nasional II Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan
Indonesia. Makasar.
[2] Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan.Jakarta.
[3]
FAO Fisheries Department. 2002. Implementation of The International Plane of
Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated
Fishing.FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 9. Rome,
122p.
[4] Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan :
Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. Fery Agung Corporation (Feraco), Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar